Pengaruh Perubahan Kurikulum yang Terlalu Cepat Terhadap Kesehatan Mental Pelajar di Indonesia
Pelajarnews.com - Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia tampaknya telah menjadi salah satu topik yang cukup sering dibicarakan.
Tidak hanya menjadi bahan diskusi di kalangan para ahli pendidikan, tetapi juga menjadi kekhawatiran di antara para orang tua dan siswa.
Menurut Psikolog Pendidikan Anak dan Remaja, Vera Itabiliana, perubahan kurikulum yang terlalu sering bisa membawa dampak negatif, terutama bagi kondisi psikologis siswa.
Dalam sebuah diskusi yang diadakan di kantor B-Universe, Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 pada Selasa (12/11/2024), Vera menjelaskan bagaimana perubahan kurikulum dapat memicu kebingungan dan stres di kalangan pelajar.
“Siswa bisa bingung. Kalau perubahan dilakukan dengan cepat, hal ini juga dapat memicu stres di kalangan siswa.
Jika guru mengalami kewalahan, maka anak-anak pun ikut stres,” kata Vera. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa perubahan kurikulum yang tidak terstruktur dengan baik bisa berdampak besar pada kesejahteraan mental para pelajar.
Guru yang tidak siap atau tidak mampu mengikuti perubahan ini dengan baik akan membuat siswa turut merasakan beban, yang akhirnya menambah tekanan psikologis pada anak-anak.
Kurikulum Sebagai Payung Besar Pendidikan: Haruskah Sering Diubah?
Vera melanjutkan penjelasannya dengan mengibaratkan kurikulum pendidikan sebagai payung besar yang menaungi seluruh sistem pendidikan.
Sebagai sebuah payung besar, kurikulum memang seharusnya dinamis untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, namun bukan berarti kurikulum harus terus berubah tanpa henti. Kurikulum yang berubah-ubah tanpa jeda waktu yang cukup dapat menyebabkan ketidakstabilan di sektor pendidikan.
“Kurikulum itu seperti payung besar. Saya setuju bahwa perubahan harus dinamis, tetapi tidak harus selalu berubah secara terus menerus.
Tetap harus ada koridor yang tidak berubah,” tambah Vera. Dengan kata lain, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang adaptif, namun tetap memiliki kerangka dasar yang tidak berubah agar memberikan rasa stabil bagi siswa dan para pendidik.
Sistem pendidikan yang dinamis memang diperlukan untuk memastikan siswa dapat mengikuti perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar kerja di masa depan.
Namun, perubahan yang dilakukan secara tergesa-gesa hanya akan menciptakan ketidakpastian bagi siswa dan juga guru. Tanpa adanya koridor yang jelas, sulit bagi para pelajar untuk memahami tujuan pembelajaran secara keseluruhan, sehingga berpotensi menurunkan motivasi belajar.
Tantangan dalam Penerapan Metode Calistung
Di dalam kesempatan tersebut, Vera juga menyinggung tantangan lain yang dialami oleh pendidikan di Indonesia, yaitu metode pembelajaran baca, tulis, dan hitung (calistung).
Menurut Vera, saat ini, tahapan dalam pengajaran calistung di Indonesia masih belum ideal, terutama ketika melihat perkembangan anak dari sisi psikologis.
Dari perspektif psikologis, Vera menjelaskan bahwa usia yang tepat untuk memperkenalkan calistung adalah sekitar lima hingga enam tahun.
Pada usia ini, anak berada pada fase sensitif di mana mereka mulai memiliki kesiapan untuk belajar hal-hal mendasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Namun, kenyataannya, banyak anak usia dini di Indonesia yang telah dituntut untuk menguasai calistung sebelum memasuki Sekolah Dasar (SD).
Tekanan ini bukan hanya datang dari sekolah, tetapi juga dari orang tua yang khawatir jika anak mereka tidak memenuhi syarat masuk SD.
“Faktanya, sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan waktu ideal mengajarkan calistung pada anak. Dari sisi psikologis, calistung seharusnya baru diperkenalkan pada usia lima sampai enam tahun. Pada usia inilah anak baru mulai siap belajar.
Namun, banyak orang tua yang menginginkan anaknya menguasai calistung lebih cepat karena tuntutan masuk SD yang mengharuskan anak sudah bisa membaca dan berhitung,” terang Vera.
Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kurikulum pendidikan dan perkembangan psikologis anak.
Anak-anak usia dini yang dipaksa belajar hal-hal yang belum sesuai dengan tahapan perkembangan mereka berisiko mengalami stres dan kehilangan minat dalam belajar.
Sementara itu, guru juga dituntut untuk memastikan anak-anak mampu menguasai keterampilan dasar tersebut dalam waktu yang singkat, yang tidak jarang membuat proses pembelajaran menjadi lebih menekan daripada menyenangkan.
Perubahan Kurikulum yang Terlalu Cepat Bisa Menyulitkan Guru
Selain dampak terhadap siswa, perubahan kurikulum yang sering juga dapat mempersulit guru dalam menjalankan tugasnya. Guru menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan di sekolah.
Ketika kurikulum terus berubah, mereka harus terus menyesuaikan metode dan strategi pembelajaran mereka. Hal ini dapat membuat guru kewalahan karena mereka harus menghadapi berbagai tuntutan administratif dan operasional yang tidak sedikit.
Ketika guru kewalahan dengan perubahan kurikulum, kualitas pengajaran yang diberikan kepada siswa pun akan menurun.
Guru tidak lagi fokus pada upaya untuk memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi siswa, melainkan lebih banyak terjebak pada upaya memenuhi target-target administrasi yang kerap berubah. Kondisi ini akhirnya berdampak pada siswa yang merasa semakin sulit mengikuti pelajaran di sekolah.
Pakem Kurikulum Sesuai Tumbuh Kembang Anak
Menurut Vera, penting bagi kurikulum untuk memiliki pakem atau pedoman yang sesuai dengan tumbuh kembang anak. Perubahan memang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun harus tetap memiliki kesinambungan dengan edisi kurikulum sebelumnya. Ini penting agar transisi yang terjadi tidak mengejutkan bagi siswa.
“Harus ada pakem kurikulum yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak. Perubahan kurikulum sebaiknya bersifat dinamis tetapi tetap memiliki keterkaitan dengan edisi sebelumnya agar anak-anak tidak kaget. Transisi sebaiknya dilakukan secara perlahan,” tambah Vera.
Vera mengusulkan agar perubahan yang dilakukan tetap memiliki kesinambungan dengan kurikulum yang telah ada, sehingga baik siswa maupun guru dapat menyesuaikan diri tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Ini akan membantu siswa untuk belajar dengan cara yang lebih efisien dan membantu guru untuk menjalankan tugas mereka dengan lebih optimal.
Peran Orang Tua dalam Menanggapi Perubahan Kurikulum
Tidak hanya guru dan sekolah, orang tua juga memiliki peran yang sangat penting dalam menghadapi perubahan kurikulum.
Orang tua diharapkan dapat bekerja sama dengan guru untuk memastikan anak-anak tidak mengalami tekanan yang berlebihan. Vera menyarankan agar orang tua lebih memahami tahapan perkembangan anak dan tidak terlalu menekan anak untuk mencapai standar yang terlalu tinggi pada usia yang terlalu dini.
Ketika orang tua memiliki pemahaman yang baik mengenai kebutuhan dan tahapan perkembangan anak, mereka dapat memberikan dukungan yang sesuai bagi anak-anak. Dengan demikian, anak-anak tidak merasa sendirian dalam menghadapi perubahan yang terjadi di sekolah.
Dukungan dari orang tua dapat mengurangi stres pada anak dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan kurikulum yang baru dengan lebih baik.
Kesimpulan
Perubahan kurikulum pendidikan memang diperlukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Namun, perubahan yang terlalu sering dan mendadak justru dapat menimbulkan kebingungan dan stres bagi siswa, guru, serta orang tua.
Kurikulum perlu memiliki koridor atau pakem yang tetap agar memberikan stabilitas dalam proses belajar-mengajar. Penting untuk memastikan bahwa setiap perubahan kurikulum memiliki kesinambungan dengan edisi sebelumnya agar transisi berjalan secara alami dan tidak mengejutkan bagi siswa.
Selain itu, orang tua juga diharapkan dapat memahami tahapan perkembangan anak dan tidak memberikan tekanan berlebih agar anak dapat belajar dengan optimal dan menyenangkan. Dukungan dari semua pihak – pemerintah, sekolah, guru, dan orang tua sangat dibutuhkan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan mendukung perkembangan anak secara menyeluruh.
Sumber referensi: investor.id
Post a Comment for "Pengaruh Perubahan Kurikulum yang Terlalu Cepat Terhadap Kesehatan Mental Pelajar di Indonesia"