BeritaNasional

Robot di Kelas Semakin Umum: Manfaat, Risiko, dan Dampaknya pada Siswa SD

21
×

Robot di Kelas Semakin Umum: Manfaat, Risiko, dan Dampaknya pada Siswa SD

Share this article
Robot di Kelas Semakin Umum: Manfaat, Risiko, dan Dampaknya pada Siswa SD

Pelajarnews.com – Robot di lingkungan sekolah makin sering terlihat—bukan sekadar pajangan teknologi, tetapi benar-benar dipakai untuk mendukung proses belajar. Di sejumlah kelas, robot humanoid diposisikan sebagai asisten yang membantu guru menyampaikan materi, memandu aktivitas, hingga membangun kebiasaan sosial seperti sopan santun dan empati lewat interaksi sehari-hari. Pertanyaannya bukan lagi apakah robot akan masuk sekolah, melainkan bagaimana kehadiran robot mengubah cara anak belajar dan bersikap.

Kondisi ini memunculkan dua sisi yang sama-sama penting: potensi robot untuk meningkatkan pengalaman belajar, sekaligus risiko ketika interaksi manusia–robot terjadi terlalu intens atau terlalu lama, khususnya pada anak usia sekolah dasar yang sedang membentuk pola sosial dan cara memaknai teman di sekitarnya.

2. Mengapa Robot di Sekolah Makin Populer dalam Pembelajaran

2.1 Robot sebagai Asisten Belajar yang Adaptif

Salah satu alasan robot mudah diterima di kelas adalah kemampuannya menyesuaikan diri dengan kebutuhan siswa. Robot dapat diprogram untuk memakai metode pengajaran yang lebih cocok dengan gaya belajar tertentu, memberi umpan balik secara langsung, serta membuat kegiatan kelas terasa lebih interaktif. Di atas kertas, ini menjawab tantangan klasik sekolah: perbedaan kemampuan dan tempo belajar di dalam satu ruang kelas.

2.2 Dampak pada Motivasi dan Keterlibatan Siswa

Ketika pembelajaran terasa menyenangkan dan responsif, siswa cenderung lebih antusias. Kehadiran robot sering memicu rasa ingin tahu yang kemudian berubah menjadi partisipasi aktif: bertanya, mencoba, dan menyelesaikan tugas dengan lebih terlibat. Dalam konteks kelas dasar, antusiasme bukan sekadar emosi sesaat; ia bisa menjadi pintu masuk untuk membangun kebiasaan belajar yang positif.

3. Temuan Studi: Anak SD Cenderung Sopan pada Robot

3.1 Mayoritas Siswa Memperlakukan Robot dengan Sopan

Penelitian dari SWPS University menunjukkan pola yang menarik: sebagian besar siswa sekolah dasar tetap bersikap sopan ketika berinteraksi dengan robot humanoid. Artinya, norma sosial yang sudah tertanam—seperti kebiasaan berkata baik dan tidak kasar—tetap bekerja, bahkan ketika lawan bicara bukan manusia.

Baca Juga:  Skor Matematika TKA SMA 2025 Jeblok, Mendikdasmen Beberkan Akar Masalah Numerasi

3.2 Usia Lebih Muda dan Perempuan Lebih Mudah Memanusiakan Robot

Studi yang sama menemukan kecenderungan tambahan: siswa yang lebih muda dan siswa perempuan lebih sering melihat robot seolah memiliki kualitas manusia—misalnya dianggap bisa diajak berbicara layaknya teman, diperlakukan seperti makhluk yang punya perasaan, atau dinilai memiliki niat tertentu. Ini penting karena cara anak memaknai robot akan memengaruhi cara mereka merespons arahan robot, menilai otoritasnya, dan menentukan seberapa besar keterikatan emosional yang terbentuk.

4. Bagaimana Peneliti Menguji Interaksi Anak–Robot di Kelas

4.1 Robot Humanoid Pepper sebagai Subjek Interaksi

Dalam riset terbaru, peneliti menggunakan robot humanoid setinggi sekitar 120 cm bernama Pepper dari SoftBank Robotics yang dilengkapi sensor, kamera, dan mikrofon untuk mengenali suara, gerakan, serta beberapa isyarat emosi. Partisipan penelitian melibatkan 251 siswa usia 7–12 tahun—rentang usia yang krusial dalam perkembangan sosial dan pembentukan persepsi terhadap teknologi.

4.2 Dua Variabel Kunci: Gaya Komunikasi dan Gender Robot

Penelitian menyoroti dua faktor yang kerap luput dibahas saat sekolah mengadopsi teknologi:

  • Gaya komunikasi robot, apakah robot berbicara dengan cara sopan atau tegas.
  • Gender robot yang diwakili melalui penamaan, misalnya Ada atau Adam, yang kemudian memengaruhi ekspektasi sosial anak terhadap cara robot seharusnya berbicara dan bersikap.

Kedua variabel ini membentuk cara siswa menafsirkan robot: apakah terasa hangat, berwibawa, ramah, atau justru mengintimidasi, dan pada akhirnya berpengaruh pada keterlibatan serta hasil belajar.

4.3 Skenario Eksperimen: Anak Menilai Respons Robot dan Emosinya

Siswa diperkenalkan pada situasi yang menampilkan respons robot terhadap suatu tindakan, misalnya saat ada yang mencoba memotretnya, lalu diminta merespons. Setelah itu, mereka menjawab pertanyaan mengenai kemampuan batin robot—apakah robot bisa bahagia, bermimpi, atau berimajinasi. Pertanyaan semacam ini bukan sekadar iseng; jawabannya memetakan seberapa jauh anak memberi sifat manusiawi pada robot.

Baca Juga:  Baznas Kabupaten Brebes Berikan Beasiswa Total Rp200 Juta untuk 210 Pelajar dari SD hingga Perguruan Tinggi

5. Siswa Meniru Robot? Ini yang Terjadi di Lapangan

5.1 Sopan Tetap Mendominasi, Bahkan Saat Robot Tegas

Hasilnya cukup menenangkan: ketika robot bersikap sopan, siswa hampir selalu membalas dengan sopan. Yang lebih menarik, ketika robot menggunakan gaya tegas, sebagian besar siswa tetap menjaga sopan santun. Ini mengisyaratkan bahwa norma sosial yang sudah dimiliki anak, baik dari rumah maupun sekolah, lebih kuat dibanding dorongan meniru gaya bicara robot.

5.2 Robot Sopan Lebih Mudah Dianggap Manusiawi

Robot yang berkomunikasi secara sopan cenderung lebih sering dianggap memiliki kualitas manusia, terutama ketika gaya komunikasinya selaras dengan ekspektasi sosial terkait gender. Puncaknya terlihat saat robot bersikap sopan dan dipersepsikan sebagai perempuan, kondisi yang memicu atribusi sifat manusiawi paling tinggi.

Implikasinya jelas: desain interaksi robot bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal psikologi sosial—bagaimana anak membaca isyarat, menilai kehangatan, dan membangun relasi.

6. Risiko yang Diingatkan Ahli: Interaksi Terlalu Lama Bisa Mengganggu Perilaku Sosial

6.1 Kekhawatiran Utama: Durasi dan Intensitas Interaksi

Konrad Maj, PhD, psikolog sosial sekaligus penulis utama studi, menggarisbawahi bahwa kontak yang terlalu lama dengan robot berpotensi memberi dampak negatif pada perilaku sosial siswa. Masalahnya bukan pada robotnya semata, melainkan pada porsi interaksi. Ketika anak terlalu sering berinteraksi dengan entitas yang responsnya dapat diprediksi, dikendalikan, dan selalu siap, anak bisa kehilangan sebagian kesempatan untuk melatih keterampilan sosial yang lebih kompleks, seperti membaca emosi manusia yang tidak selalu konsisten, bernegosiasi, dan memahami batas interpersonal.

6.2 Mengapa Sekolah Perlu Memahami Pola Interaksi Anak–Robot

Agar robot benar-benar menjadi mitra belajar yang efektif, sekolah perlu memahami dua hal: bagaimana anak memandang robot dan dalam kondisi apa robot paling bermanfaat. Tanpa pemahaman itu, robot bisa berubah dari alat bantu pedagogis menjadi distraksi, atau lebih jauh, menjadi pengganti interaksi sosial yang seharusnya terjadi antar manusia.

Baca Juga:  20 Pelajar Terpilih Ikuti Program STORY IPM di Solo: Membangun Fondasi Literasi Islam

7. Implikasi Praktis: Cara Aman dan Efektif Memanfaatkan Robot di Kelas

7.1 Gunakan Robot untuk Tujuan yang Spesifik, Bukan Semua Hal

Robot paling efektif ketika dipakai untuk fungsi yang jelas: latihan materi tertentu, simulasi interaksi edukatif, atau penguatan motivasi dalam sesi singkat. Robot tidak ideal bila dibiarkan mengambil alih peran sosial utama, misalnya menjadi teman utama anak selama jam belajar.

7.2 Sesuaikan Gaya Komunikasi Robot dengan Tahap Perkembangan Siswa

Siswa usia lebih muda lebih mudah memberi sifat manusiawi pada robot. Karena itu, gaya komunikasi robot perlu dirancang agar tetap ramah namun tidak memicu keterikatan yang berlebihan. Di sini, guru berperan sebagai pengarah, memastikan anak memahami robot sebagai alat bantu, bukan pengganti relasi manusia.

7.3 Tetapkan Batas Durasi Interaksi dan Prioritaskan Kolaborasi Manusia

Jika tujuan sekolah adalah membangun kompetensi sosial, maka robot sebaiknya mendorong interaksi antar siswa: kerja kelompok, diskusi, dan permainan edukatif bersama, bukan aktivitas satu anak satu robot dalam waktu panjang. Robot yang mendukung kolaborasi manusia akan lebih selaras dengan kebutuhan perkembangan anak.

8. Robot Bisa Jadi Mitra Belajar, Asal Tidak Mengambil Alih Peran Sosial

Kehadiran robot di sekolah menawarkan peluang nyata: pembelajaran lebih adaptif, lebih menarik, dan lebih responsif. Namun, riset menunjukkan bahwa aspek sosial tidak boleh diperlakukan sebagai efek samping. Anak, terutama yang lebih muda, dapat memaknai robot secara manusiawi, dan di sinilah sekolah perlu berhati-hati.

Kuncinya ada pada desain dan pengelolaan: gaya komunikasi robot, ekspektasi sosial yang terbentuk, serta batas durasi interaksi. Dengan pendekatan yang tepat, robot dapat menjadi alat yang memperkuat pengalaman belajar, bukan menggantikan ruang penting bagi anak untuk bertumbuh melalui interaksi manusia yang sesungguhnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *