PELAJARNEWS.COM – Ramadan adalah bulan penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bulan ini membawa nuansa spiritual yang mendalam, memberikan kesempatan bagi umat Muslim untuk lebih fokus beribadah dan meningkatkan kualitas diri. Namun, wacana pemerintah untuk meliburkan sekolah selama Ramadan 2025 memunculkan perdebatan di kalangan masyarakat, terutama para pengamat pendidikan dan perlindungan anak.
Salah satu yang memberikan tanggapan terhadap hal ini adalah Kak Seto Mulyadi, pengamat anak sekaligus Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Menurut Kak Seto, meskipun kebijakan ini memberikan keuntungan bagi siswa untuk lebih fokus pada ibadah, ada risiko yang perlu diwaspadai, yakni peningkatan tawuran pelajar.
Wacana Meliburkan Sekolah Selama Ramadan 2025
Pada akhir 2024, Wakil Menteri Agama, Muhammad Syafi’i, mengungkapkan adanya wacana untuk meliburkan sekolah selama bulan Ramadan 2025. Wacana ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi siswa dan guru untuk lebih fokus beribadah. Hal serupa pernah dilakukan pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada awal 2000-an, yang juga meliburkan sekolah-sekolah sepanjang Ramadan. Pada saat itu, kebijakan tersebut dianggap sebagai langkah yang memungkinkan siswa untuk berfokus pada kegiatan ibadah tanpa gangguan dari aktivitas belajar.
Namun, kebijakan ini tidak lepas dari pro dan kontra. Banyak yang berpendapat bahwa meliburkan sekolah akan memberikan keuntungan bagi umat Islam, namun ada pula yang mengkhawatirkan dampak negatif dari kebijakan ini, terutama terhadap siswa non-Muslim dan potensi meningkatnya masalah sosial di kalangan pelajar.
Kak Seto: Potensi Meningkatnya Tawuran Pelajar
Kak Seto, yang dikenal sebagai tokoh perlindungan anak, memberikan pandangannya terkait wacana ini. Menurutnya, meskipun tujuan dari liburan ini untuk memberi kesempatan pada siswa dan guru untuk lebih mendalami ibadah, ada dampak negatif yang perlu diwaspadai.
Salah satu kekhawatiran utama adalah meningkatnya tawuran di kalangan pelajar. Kak Seto menjelaskan bahwa meliburkan sekolah bisa menyebabkan siswa merasa tidak terstruktur dan kehilangan kegiatan yang positif. Ketika tidak ada kegiatan yang mengisi waktu, mereka bisa jadi lebih mudah terpengaruh untuk terlibat dalam perilaku negatif, seperti tawuran.
“Takutnya kalau hanya sekadar diliburkan. Puasa nanti dijadikan alasan untuk bermalas-malasan. Akhirnya tidak ada kegiatan. Malah takutnya justru banyak kegiatan yang menyimpang,” kata Kak Seto dalam wawancaranya. Tawuran, yang sudah menjadi masalah lama di kalangan pelajar, bisa semakin meningkat jika tidak ada pengawasan atau kegiatan yang positif selama Ramadan.
Kak Seto mengingatkan bahwa kegiatan seperti sahur di jalanan dan aksi-aksi lainnya yang tidak bermanfaat bisa berisiko terjadinya kerusuhan. Ketika siswa libur tanpa kegiatan yang jelas, mereka berisiko terlibat dalam aktivitas yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Solusi dari Kak Seto: Sekolah Tetap Berjalan dengan Penyesuaian
Menanggapi kekhawatirannya, Kak Seto menyarankan agar sekolah tetap berjalan selama Ramadan, meskipun dengan penyesuaian. Ia menyarankan agar waktu kegiatan sekolah dipersingkat atau disesuaikan agar siswa bisa tetap menjalani kegiatan belajar dan beribadah dengan seimbang. “Kegiatan sekolah bisa disesuaikan, tidak sepenuh hari seperti biasanya,” ujarnya.
Dengan penyesuaian waktu, siswa tetap bisa menjalani rutinitas belajar, sementara kegiatan agama dan ibadah bisa dilakukan tanpa mengganggu aktivitas pendidikan. Kak Seto juga menekankan bahwa pendidikan tetap menjadi bagian dari ibadah itu sendiri. Selain itu, siswa juga bisa belajar nilai-nilai positif, seperti toleransi, ketika berada di sekolah.
Selama Ramadan, pelajaran tidak hanya mengenai pengetahuan akademis, tetapi juga pendidikan karakter. Anak-anak dapat belajar untuk saling menghormati perbedaan, seperti menghargai teman-teman yang tidak berpuasa. Hal ini juga menjadi bagian dari pendidikan akhlak yang sangat penting di tengah masyarakat yang multikultural.
Risiko Terhadap Siswa Non-Muslim
Salah satu isu yang perlu diperhatikan dalam kebijakan meliburkan sekolah selama Ramadan adalah dampaknya terhadap siswa non-Muslim. Menurut Kak Seto, liburan yang terlalu lama bisa mengabaikan kebutuhan pendidikan bagi siswa yang tidak berpuasa. Mereka bisa kehilangan waktu untuk belajar secara produktif, yang akhirnya bisa berdampak pada kualitas pendidikan mereka.
Bagi siswa non-Muslim, libur panjang bisa menyebabkan mereka merasa kurang mendapat kesempatan yang adil untuk belajar. Selain itu, mereka juga bisa merasa terisolasi atau bahkan kurang terlibat dalam kehidupan sekolah, mengingat sebagian besar kegiatan akan berfokus pada ibadah yang hanya relevan bagi siswa Muslim.
Alternatif: Pesantren Kilat dan Kegiatan Positif Lainnya
Sebagai alternatif, Kak Seto mengusulkan untuk lebih mengoptimalkan kegiatan pesantren kilat selama Ramadan. Program pesantren kilat bisa menjadi solusi untuk memberikan pengajaran agama yang mendalam bagi siswa Muslim, sementara siswa non-Muslim juga tetap bisa mengikuti kegiatan sekolah dengan penyesuaian waktu yang sesuai.
Pesantren kilat ini bisa menjadi wadah bagi siswa untuk lebih memahami agama secara praktis dan aplikatif, tanpa mengganggu kegiatan belajar mereka secara keseluruhan.
Selain itu, Kak Seto juga mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kegiatan belajar dan ibadah, sehingga anak-anak tetap mendapatkan pendidikan yang seimbang, baik secara akademis maupun moral.
Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan antara Ibadah dan Pendidikan
Secara keseluruhan, kebijakan meliburkan sekolah selama Ramadan 2025 memang memiliki niat baik untuk memberi ruang bagi siswa dan guru dalam menjalankan ibadah. Namun, kebijakan ini perlu dipertimbangkan dengan matang, mengingat potensi dampak negatif yang bisa timbul, seperti meningkatnya tawuran pelajar dan ketidakadilan bagi siswa non-Muslim.
Kak Seto mengusulkan agar kegiatan sekolah tetap berlangsung dengan penyesuaian waktu, sehingga anak-anak bisa tetap belajar dan beribadah dengan seimbang. Pendidikan karakter, seperti toleransi dan etika, juga bisa diajarkan selama Ramadan, membuat suasana sekolah lebih positif dan produktif.
Dengan demikian, kebijakan ini bisa berjalan sesuai dengan tujuan, yakni memperkuat iman dan memberikan pendidikan yang holistik bagi semua siswa.